Dua Pakar Beda Pendapat Terhadap Perppu Ormas
Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra memberikan masukan terkait Perppu No.2/2017 tentang Perubahan UU No.17/2013 tentang Ormas dalam RDPU dengan Komisi II DPR RI, Foto:Jayadi
Dalam RDPU Komisi II DPR dengan pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra berkesempatan menyampaikan pokok-pokok pikiran dan masukannya kepada DPR mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
“Nasib Perppu Nomor 2 tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Presiden, saat ini tergantung pada dua lembaga negara. karena menurut Undang-Undang Dasar, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Kalau disetujui akan disahkan menjadi Undang-Undang, kalau ditolak harus dicabut dan tidak ada alternatif ketiga, misalnya diamandemen dahulu sebelum disahkan menjadi undang-undang,” ucap Yusril dalam RDPU dengan Komisi II di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/10).
Yusril mengatakan, yang menjadi persoalan adalah apakah cukup tentang hal ikhwal kegentingan memaksa, yang menjadi latar belakang pemerintah untuk menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 itu.
“Saya menyarankan supaya Perppu ini ditolak saja, dan pemerintah sebaiknya mengajukan RUU atau DPR mengajukan RUU, hanya untuk memangkas kewenangan dari pengadilan. Dan sebaiknya memperjelas tentang maksud dari paham yang bertentangan dengan Pancasila supaya tidak menimbulkan multi tafsir dan kesewenang-wenangan di kemudian hari,” ujarnya.
Berbeda dengan pendapat Yusril Ihza Mahendra, Profesor Azyumardi Azra menyatakan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2017 sangat diperlukan. “Perppu ini memang diperlukan, Undang-undang ini diperlukan. Ini menyangkut persoalan eksistensial bagi negara dan bangsa Indonesia,” ucap Azyumardi.
Azyumardi memaparkan bahwa kelompok-kelompok radikal di Indonesia yang terkait dengan Islam biasanya terkait dengan masalah politik, sementara agenda-agenda keagamaannya sendiri kurang begitu menonjol.
“Sementara kalau ada kekhawatiran bahwa ormas-ormas lain akan menjadi target, itulah peran dari civil society (masyarakat sipil). Kita harus memantau pemerintah dalam hal ini. Saya melihat bahwa Perppu ini atau undang-undangnya nanti sangat kecil sekali kemungkinannya untuk bisa mendorong munculnya kembali otoritarianisme di Indonesia. Karena kalau menyangkut perkembangan politik dan demokrasi kita, maka kita telah sampai pada titik yang tidak mungkin kembali ke otorianisme,” tuturnya. (dep,mp)/iw.